Thursday, January 1, 2015

Titik Hidup



sumber gambar: easydizzy.deviantart.com


Kukenalnya sebagai tanda baca dalam kehidupan
Di mana semuanya berhenti ataukah akan kulanjutkan lagi
Untuk menyusun rerangkai cerita
Yang akan kubukukan sebagai sejarah

“Ian, setelah wisuda ini kamu mau apa? Pasti menikah, ya?” ujar Ahmad kepadaku sembari merangkul diriku yang masih memakai toga.
Nggak. Aku belum akan menikah. Aku masih ingin berpetualang keliling dunia, Mad.”
Lha, bukannya kamu sedang dekat dengan seorang perempuan?”
“Siapa bilang? Nggak ada kok!”
Aku pura-pura tak tahu, walaupun sebenarnya aku paham bahwa perempuan yang dimaksudkan Ahmad itu adalah Zahra. Sosok perempuan muslimah yang sering digosipkan dekat denganku. Ya..., kami sebenarnya memang sempat dekat. Tetapi itu dahulu, bukan sekarang.
Bagiku, aku bukanlah orang yang pantas untuk memiliki Zahra. Dia terlalu lurus. Berbanding terbalik denganku yang masih liar dan ingin bebas. Seorang aktivis keislaman sepertinya apabila disandingkan denganku yang pencinta sastra ini sangatlah tidak berimbang. Ia sangat paham akan agama sedangkan aku masih tertinggal jauh darinya. Namun, benar kata orang, apabila sudah terkait dengan hati, alasan-alasan logis seakan tak berguna. Begitupun bagi Zahra, jeratan perasaan telah membuatnya seolah tak sadar siapa diriku sesungguhnya. Ia hanya melihatku sebagai sosok ideal seperti tokoh pemuda muslim yang kuceritakan dalam novel pertamaku yang dibacanya.
Pernah suatu kali, Zahra meminta padaku agar segera melamarnya. Aku kaget karena aku merasa kami tidak punya hubungan lebih dari sekadar teman walaupun dapat dikatakan kami berdua cukup akrab. Gadis bermata jeli itu sesekalinya menatap mataku dengan penuh harap, padahal dari dulu hingga saat itu, dia hampir tak pernah berani menatap mataku. Entah ada kekuatan apa yang membuatnya sanggup melakukan hal tersebut. Aku jadi salah tingkah karena jauh di dasar hatiku juga memendam rasa padanya. Lelaki mana yang tak gemetaran bila di hadapkan dengan sosok perempuan salehah nan rupawan yang bersedia menjadi pedamping hidupnya?
“Zahra, menikah adalah sebuah titik dalam paragraf hidupku. Di mana aku harus membuat kalimat baru untuk melanjutkan titik itu. Aku masih belum ingin membuat titik ketika kalimat sebelumnya belum aku selesaikan. Kamu tahukan kalau aku ingin menjadi musafir dan berkeliling untuk melihat dunia ini?” jawabku padanya.
“Kamu bisa mengganggapku sebagai koma, biar kamu bisa sejenak berhenti untuk meneruskan kalimatmu itu nanti, Ian. Kamu bisa melakukan perjalanmu bersamaku,” balas Zahra dengan bola mata yanga berkaca-kaca.
“Aku mungkin bisa menuliskanmu sebagai koma, tapi bagimu aku tetaplah akan menjadi titik yang membuatmu menuliskan kalimat baru dalam paragraf hidupmu. Sebaiknya kaupilih orang lain yang juga bersedia menjadikan dirimu sebagai titik dalam hidupnya, sehingga kau tak perlu mengubah kisahmu menjadi kisah yang tak sesuai dengan citamu. Aku mengenalmu, Ra. Kamu takkan sanggup bertahan bersamaku.”
Setelah kejadian itu, hubungan pertemananku dengan Zahra menjadi rengagang. Kami selalu saling menghindar ketika berjumpa. Adapun interaksi yang kami lakukan hanyalah saling sapa tanpa melihat wajah. Tampaknya Zahra kecewa dengan jawabanku kepadanya saat itu.
Tak selang berapa minggu lamanya, kudengar kabar bahwa Zahra akan melangsungkan pernikahannya dengan seorang lelaki lulusan salah satu universitas terkemuka di Bandung. Lelaki yang sungguh berbeda dariku. Lelaki itu jelas mempunyai masa depan cerah karena bekerja di sebuah perusahaan besar dan ia juga dari kalangan keluarga yang agamis. Tak seperti diriku yang masih senang bergelut dengan dunia tulis-menulis tanpa ada kejelasan materi dan hampir tak pernah bersinggungan dengan kegiatan keislaman. Adapun kegiatan keislaman yang kulakukan hanyalah membaca buku-buku keislaman yang dijadikan referensiku dalam menulis novel.
Zahra kini sudah menemukan titik untuk membuat kalimat baru dalam paragraf hidupnya. Aku sendiri masih meneruskan kalimat tentang impianku yang belum mencapai titiknya. Kalimat yang masih bisa kuhapus ataupun kutulis ulang beberapa katanya agar mencapai kalimat efektif yang ingin kurangkaikan sebelum membubuhkan titik di depannya. Sebuah petualangan yang telah kunantikan sedari kecil, yaitu membaca dan menuliskan semesta-Nya untuk kupelajari.
Seharusnya penantian itu terwujud dalam waktu dekat ini. Tepatnya setelah aku menyelesaikan novel kelima yang sudah mencapai penulisan bab terakhirnya. Namun, ternyata Tuhan berkehendak lain. Pada hari ini kutemukan titik hidupku yang lain. Di jalanan yang licin karena hujan. Ketika motor yang kukendarai menuju tempat resepsi pernikahan Zahra berhadapan dengan sebuah truk yang tiba-tiba oleng di tengah jalan.


Yansa El-Qarni, 24 November 2014

0 comments:

Post a Comment