Wednesday, January 21, 2015

Puisi Esai: Proklamasi Merdeka Jalan Proklamasi



Tugu Proklamasi di Jalan Proklamasi, Jakarta (Sumber gambar: kaskus.co.id)


/1/
Proklamasi
Kami pemuda Jalan Proklamasi[1] dengan ini menanyakan,
Apakah kami sudah benar-benar merdeka?
Dengan hidup bebas di jalanan
Dengan bertindak semaunya kami
Tak pernah peduli mana yang benar dan salah

Sekali lagi,
Apakah ini yang dikatakan merdeka itu?

Jakarta, 17 Agustus 2011
Roni Setiawan alias Roy

Kubacakan puisi gubahanku
Di panggung sanggar Bang Ebeng
Di hadapan para temanku yang senasib
Di hadapan para pemerhati nasib kami[2]
—dan tentunya,
Di hadapan gadis pujaanku
Lastri


Bagaimana penampilanku, Lastri?
Sudah pantaskah aku mengantikanmu membaca puisi?
Pelambang kemerdekaan di sini nanti.
Bisik hatiku bergemuruh

Kulihat bayanganmu dari kejauhan
Kaukembangkan senyum padaku
Senyum yang selalu terindah
Walau kutahu
Sekarang kau hanya hidup
Dalam angan dan impianku

/2/
Roy
Begitu panggilan akrabku
Nama yang cerminkan sosokku dengan idolaku
Rambut gondrong,
Kemeja kotak-kotak tak dikancing,
Serta kalung dog tag,
Ialah tokoh utama dalam cerita Balada Si Roy[3]

Bagiku,
Kisah hidupku tak jauh beda darinya
Hidup bebas di jalanan
Sering lakukan hal-hal nekat
Punya nyali dan ego tinggi
Membuatku serasa mirip dengannya

Namun kusadar,
Tiada pantas kusamakan diriku dengan Si Roy
Yang mampu menerjang apa pun penghalang di hadapannya
Hingga mampu mengubah dunia di sekitarnya
Ia selalu melangkah ke mana pun angin membawa
Agar bisa menjadi lelaki sejati

Sedangkan aku?
Tak mampu keluar dari jeratan dunia hitamku!

Tawuran
Narkoba
Seks bebas
Serta kriminal lainnya[4]
Adalah kerja harian bersama teman-temanku

Sakaw
Dipenjara
Terjangkit HIV/AIDS
Bahkan tewas[5]
Adalah resiko biasa

Pernah kucoba tuk berhenti dari semuanya
Tapi apa yang terjadi kemudian?
Digebuk preman kudiadili
Dibiarkan sakaw kuhampir mati
Di gang buntu tanpa penghuni

Di situ,
Kukira Malaikat Izrail akan menyambutku
Sosok bayang hitamnya nampak di mataku
Ia berteriak
Namun suaranya tak jelas kudengar
Apakah ia meminta izin sebelum mencabut nyawaku?
... Haha ...
Aku tertawa sinis dalam hati

Silahkan Pak Malaikat!
Silahkan cabut nyawa pemuda tak berguna ini!
Yang hidupnya tiada berarti!

Caci demi caci kuungkap di hati
Sebelum kuterpejam penuh
Saat itu kupikir waktu sudah berhenti untukku

/3/
Lastri Nurhayati,
Nama indah pemberian orang tuaku
Tertulis di selembar kertas
Ketika dulu mereka meninggalkanku
Di sebuah panti
Saat aku masih merah[6]

Sebagai gadis yang besar di panti
Kini aku telah bisa hidup mandiri
Berkat kerja di instansi
Lalu kuditempatkan di daerah ini
Yang dinamai Jalan Proklamasi
Tempat di mana kuharus mengabdi

Pertama kurasa sungguh sulit
Bagi seorang muslimah sepertiku
Untuk bertahan di sini
Tempat ini seperti sarang penyamun!
Setiap melintas di jalanan
Tak lepas kudigoda para pria nakal
Padahal jilbab dan baju kurung sudah melakat di tubuhku

Itu yang kurasakan sebelum kukenal Sanggar Bang Ebeng
Yang dipenuhi orang-orang luar biasa
Orang-orang yang ingin keluar dari dunia hitam mereka
Orang-orang yang tak akan kubiarkan mereka kembali
Menjadi alat para syaitan keparat
Musuh abadiku sebagai manusia

Terlebih saat kubertemu Roy
Pemuda tampan –yang entah mengapa
Seakan dia hidup di hatiku
Hadir dalam helaian nafasku
Kadang pula ia singgah dalam mimpiku

Apa ini yang namanya cinta?
Sungguh, rasa ini telah bersemi
Hingga mekar di hidupku
Semenjak kubertemu dengannya
Di gang buntu saat kutersesat dahulu

/4/
Tolong!
Ada orang pingsan di sini!
Dia penuh luka!
Dia sekarat!
Dia hampir mati!
Siapa pun tolong!
Teriakku keras
Namun hanya disambung hening
Tiada jawaban

Saat itulah pertama kali kubertemu Roy
Di gang buntu
Dengan kondisi dia sekarat dan aku tersesat
Tanpa ada satu orang pun di sekitar kami
Situasi itu munculkan tanda seru serta tanda tanya di kepalaku
Apa yang harus kulakukan!?

Aku pun nekat
Kugotong dia
Kubawa dia keluar dari gang itu
Walau kutak tahu mesti ke arah mana
Yang penting saat itu
Adalah aku harus bertemu seseorang
Siapa pun yang bersedia menyelamatkannya

Ketika itulah kubertemu Bang Ebeng
Dibawanya Roy ke rumah sakit bersamaku
Hingga ia selamat dari mautnya

Sejak saat itulah
Kukenal Roy
Kami kerap bicara banyak hal
Tentang diri kami
Tentang puisi
Tentang musik
Tentang agama
Hingga tentang cinta
Menjadi konsumsi ketika berjumpa
Tanpa kusadari muncul benih-benih mahabbah[7]-Nya
Yang mulai tumbuh di hati kami

/5/
Sosok malaikat maut waktu itu
Ternyata jauh dari apa yang kusangka
Ia bukan malaikat maut tapi Sang Dewi Amor!
Menyelamatkan hidupku sekaligus memanah hatiku
Dengan pesona yang memancar dari dirinya

Lastri, –namanya
Sosok perempuan salehah
Rajin ibadah dan suka mengaji
Cantik dan baik hati
Ditambah lagi sudah mandiri
Sempurna untuk jadi seorang istri

Sedangkan aku?

Roy, —namaku.
Sosok lelaki tak tahu diri
Mantan napi dan suka berjudi
Berandalan dan bau tengik
Ditambah lagi pengangguran sejati
Sempurna untuk tak beristri

Walaupun berbeda
Kami berdua saling mencintai
Bisa kurasakan getar kasih antara aku dan dia
Aku tahu,
Lastri menungguku mengungkapkan rasa itu
Karena dia seorang wanita

Tapi aku tak mampu ungkapkannya
Karena kurasa tak pantas diriku untuknya

Dia bagaikan langit
Aku rawa di bumi
Yang kotor
Pekat
Bau

Dia bagaikan mawar
Aku rumput ilalang
Yang jelek
Tak berarti
Dan mengganggu

Dia bagaikan mentari
Aku hanya lilin
Kecil
Rapuh
Dan hanya bisa memberi cahaya redup

Namun Lastri
Biarkan aku yang tak berharga ini
Mencintaimu dengan sederhana
Seperti puisi yang pernah kau bacakan
Di panggung Sanggar Bang Ebeng

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu

Dengarkan Lastri
Aku akan berubah
Kuubah setitik cahaya lilinku
Menjadi bintang
Yang nanti akan menemani
Di langitmu ketika malam

/6/
Aku mulai hari-hari yang baru
Merehabilitasi diriku
Raga, jiwa, dan hatiku

Mengganti konsumsi narkobaku
Dengan program metadhon[8]
Mengganti kemalasanku
Dengan aktif di sanggar
Mengganti kemaksiatanku
Dengan belajar mengaji
Hingga mengganti pengangguranku
Dengan kerja di pabrik

Kujalani semua untuk menjadi Roy baru
Roy yang memproklamasikan dirinya
Bebas dari jeratan lingkungan hitam lamanya
Merdeka di Jalan Proklamasi

Namun tak mudah
Banyak tantangan harus kuhadapi
Sakaw berulang kali
Diancam
Dicaci
Dimaki
Hingga hampir terbunuh lagi
Pernah kualami
Sejak memilih jalan ini

Semuanya tak masalah
Sebelum mereka beralih sasaran
Menghancurkan apa saja yang berharga bagiku
Hingga akhirnya Lastri
Menjadi korban dari dosa-dosaku dahulu

Sungguh tak adil
Perempuan baik itu kini sering diteror
Berpergian pun
Sampai sering ditemani temannya
Karena Jalan Proklamasi
Kini tak aman lagi baginya

Lastri
Maafkan aku telah membahayakan hidupmu

Sering kalimat itu terucap dari bibirku
Kau selalu jawabnya dengan senyummu

Bukan salahmu, Roy
Yang penting aku masih hidup dan sehat, kan?

Kau membuatku membisu
Kau tampakkan dirimu seolah tak khawatir
Kau tampilkan sosokmu sebagai perempuan kuat
Tegar dan sabar
Karena kau telah biasa hidup
Dalam dunia yang penuh tantangan
Walau di hatimu
Tersembunyi kekhawatiran

Lastri
Pesonamu makin memancar di mataku
Sosokmu seperti puisi yang dibaca Appolo
Menghanyutkanku dengan syair-syair hidupmu
Syair itu berubah menjadi benih
Lalu tumbuh
Berbuah cinta yang membuatku
Ingin selalu ada di sisimu
Mendampingimu
Menjagamu
Melindungimu
Dari apapun yang mengganggumu

Tapi apakah cinta seperti itu
Sesederhana cinta yang pernah kau bacakan dahulu, Lastri?
Karena harus kupendam perasaanku
Sampai aku benar-benar pantas untukmu

Tahukah kau, Lastri
Cita kecil yang ingin kucapai sekarang
Adalah saat aku mampu membacakan puisi sepertimu
Menyenandungkan bait-bait puisi
Hingga tiap baris dan lariknya hidup
Menyentuh kalbu siapapun yang mendengarnya
Seperti lagu-lagu Iwan Fals dan Harry Roesli[9]
Yang selalu menjadi inspirasi
Bangkitkan semangatku menjalani hari

/7/
Minggu terakhir bulan Agustus
Hari libur pelepas penatku
Juga hari spesial untuk Sanggar Bang Ebeng
Rutin menampilkan pentas seni di sana
Tiap akhir bulan
Saat para penghuni sanggar
Serta para penduduk Jalan Proklamasi
Memenuhi sanggar
Menyaksikan kreasi-kreasi para aktivis sanggar

Tak terkecuali aku
Menunggu penampilan sang pujaan hati
Artis setiap pentas di sanggar ini
Dengan julukan Lastri Sang Burung Kenari
Yang tak kalah dengan Rendra Sang Burung Merak
Begitu katanya padaku
Hampir setiap kali sebelum tampil

Anehnya
Kali ini Lastri tidak menemuiku dahulu
Tidak ada kata-kata sombongnya seperti biasa
Kutunggu dia
Sampai namanya dipanggil berulang kali
Dan para penonton terus bertepuk tangan meriah
Tapi tak jua ada tanda kemunculannya

Pikiranku mulai menggalau
Praduga-praduga buruk mulai bergentayangan
Mengitari kecemasanku

Ada apa ini?
Apa yang terjadi padanya?
Apa Lastri diculik
Lalu diperkosa oleh teman-temanku yang sering menerornya?
Tidak
Itu tidak mungkin
Teman-temanku pasti takut kualat
Menyentuh tubuh gadis alim seperti Lastri

Pikiranku kembali merancu
Tak membiarkanku untuk berpikir tenang

Tapi tak mustahil juga mereka tergoda
Bagaimana pun Lastri itu gadis yang cantik
Pria normal mana yang tidak akan terpikat
Walaupun auratnya tertutup
Itu tidak menjadi alasan dia terjaga dari perbuatan kriminal

Rasa khawatirku memuncak
Kuberlari ke belakang panggung
Bertanya pada orang-orang di sana

Mengapa Lastri tak tampil?
Ke mana ia menghilang?

Mereka jawab

Sebelumnya Lastri di sini
Tapi kemudian kembali ke kontrakannya
Mengambil barang yang tertinggal sebentar
Namun ia tidak kembali
Entah kenapa

Kuberlari lagi ke arah kontrakannya
Di sebuah gang seberang jalan raya
Berjarak sekitar 300 meter dari sanggar
Jarak yang tak terlalu jauh
Ataupun dekat
Bagi seorang pejalan kaki

Tiba-tiba langahku terhenti
Karena dering ponsel yang berseru
Memintaku mengangkatnya

Semoga ini Lastri
Harapku mengusir khawatir

Namun pupus
Setelah tahu itu bukan darinya
Ternyata dari Bang Ebeng

Kuangkat panggilan tersebut
Sembari mengela nafas
Kemudian dadaku sesak
Ketika Bang Ebeng bicara padaku
Suaranya bergetar
Memberitahukan Lastri kritis
Masuk rumah sakit
Gara-gara tabrak lari[10]

/8/
Baru kali ini
Aku merasa tubuhku aneh seperti ini
Seluruhnya mati rasa
Tak kurasa adanya tangan
Tak kurasa adanya kaki
Tak kurasa bagian badan dari leher ke bawah
Mereka seperti tak melekat lagi
Ya Allah, apa ini mimpi?

Seingatku hari ini
Harusnya kuberada di Sanggar Bang Ebeng
Tampil di panggung membacakan puisi
Tapi buku puisiku tertinggal
Sehingga aku kembali ke kontrakan
Mengambil buku puisi itu

Semula
Semua berjalan tanpa masalah
Buku puisi telah kupegang
Siap kembali ke sanggar
Kusebrangi Jalan Proklamasi menuju seberangnya
Tiba-tiba semua menjadi gelap
Kurasakan sesuatu menabrakku dari samping
Keras dan cepat
Sakit
Sakit sekali
Aku terpelanting
Jatuh tergeletak di tengah jalan
Lalu semuanya semakin gelap
Pekat
Hitam

Begitu sadar
aku sudah di rumah sakit ini
Bukan dalam kamar pasien yang putih bersih
Sunyi dan tenang
Tapi aku berada di ruang berbeda
Ruangan remang yang dipenuhi para dokter yang mengelilingiku
Entah apa yang sedang mereka lakukan
Menjamah tubuhku yang tak berdaya
Namun tak ada yang terasa
Kulihat mereka pun menggeleng kepala
Kemudian mereka meninggalkanku sendiri

Tiba-tiba rasa kantuk memelukku
Kantuk yang sangat
Membuat mataku kembali terpejam
Meniduriku
Dengan kenikmatan yang berbeda dari biasanya
Semakin lama semakin terasa nyaman
Laksana sedang melayang di udara

Saat itu aku mulai bermimpi
Roy menangis di hadapanku
Ia memegang buku puisiku
Buku puisi yang kini penuh darah
Lalu dibukanya buku itu
dibacanya larik puisi Sapardi Djoko Damono kesukaanku

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu

Ingin kumelanjutkan syairnya
Tapi lidahku kelu
Ingin kuseka air matanya
Tapi tanganku kaku
Ingin kuikut menangis bersamanya
Tapi air mataku tak keluar

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada

Roy
Sepertinya kita akan berpisah
Kutunggu dirimu di waktu dan tempat berbeda
Mungkin di sana kelak kita bisa bersatu
Kau bisa ungkapkan rasamu padaku
Aku pun takkan malu mengakuinya
Karena di sana kita dalam naungan-Nya

Lailahaillallah Muhammadarrasulullah

/9/
Lastri
Ketika kau pergi
Sungguh aku nelangsa
Kau tiada sebelum aku mengungkapkan perasaanku
Kau tiada sebelum aku tampil membacakan puisi untukmu
Kau tiada sebelum aku memproklamasikan kemerdekaan diriku
Kemerdekaan dengan keluar dari dunia gelapku
Kemerdekaan untuk bisa sama sepertimu
Merangkul orang-orang bernasib sama sepertiku

Lastri
Tunggulah
Akan kukirimkan puisi-puisi untukmu
Puisi-puisi yang akan membuatmu tersenyum di sana
Larik-lariknya menceritakan tentang Jalan Proklamasi
Jalan kenangan bagimu
Jalan cinta dan perjuanganmu
Jalan yang menjadi ladang amalmu
Jalan yang segera memproklamasikan dirinya
Merdeka seperti bangsa Indonesia
Setelah dibacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di sini

Lastri
Kutunggu senyum terindahmu
Ketika Jalan Proklamasi ini benar-benar merdeka
Begitu juga aku
Merdeka menjadi Roy yang baru


Yansa El-Qarni,
20 Agustus 2012

***
[1]  Jalan Proklamasi adalah salah satu jalan yang terdapat di Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Di jalan ini pula terdapat Tugu Proklamasi atau Tugu Petir sebagai tugu peringatan Proklamasi Kemerdekaan Repulik Indonesia.
Beberapa tempat di jalan ini merupakan daerah padat penduduk, seperti di RW 06 Kecamatan Pegangsaan-Kelurahan Menteng, Kecamatan Menteng, Pasar Manggis, dan Manggarai. Daerah-daerah ini tidak luput dari dilema permasalahan sosial yang sangat kompleks, mulai dari tawuran anak muda antar daerah, peredaran narkoba dan korbannya, HIV/AIDS, seks bebas di kalangan remaja, serta kurangnya pengetahuan orang tua yang berakibat pada pola pendidikan bagi anak-anak serta rendahnya pemenuhan hak-hak anak.
Namun beberapa tahun terakhir ini, masalah-masalah tersebut sudah mengalami banyak perubahan positif dengan hadirnya Komunitas Proklamasi yang di dalamnya tergabung beberapa komunitas yang berbasiskan isu, seperti Pendidikan, Penghijauan, Seni & Musik, Kesehatan & Peduli korban NAPZA, Kreatifitas dan lain-lain. Sumber: Mereka yang Tak Terlihat: Kemiskinan dan Pemberdayaan di Indonesia. 2010. Jakarta: Godown, imprint Yayasan Lontar dan http://www.facebook.com/notes/project-hope/an-afternoon-with-komunitas-proklamasi-can-i-say-merdekaaa-hahaaa/429416850415665
[2]  Pemerhati nasib di sini maksudnya adalah para orang-orang yang peduli terhadap masyarakat, khususnya para pemuda Jalan Proklamasi. Banyak instansi yang mulai peduli dengan keberadaan mereka, seperti pemerintah lewat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri), serta komunitas-komunitas yang tergabung dalam Komunitas Proklamasi dan sebagainya. Selain itu, terdapat juga individu-individu yang peduli, seperti Benk Benk, seorang seniman muda dari daerah Jalan Proklamasi, yang mendirikan sanggar untuk para pemuda di sana pada tahun 2007. Sumber: Mereka yang Tak Terlihat: Kemiskinan dan Pemberdayaan di Indonesia. 2010. Jakarta: Godown, imprint Yayasan Lontar dan http://aids-ina.org/modules.php?name=AvantGo&file=print &sid=6276
[3]  Balada Si Roy adalah novel fenomenal berjumlah 10 jilid karya Gol A Gong yang menjadi inspirasi banyak pemuda di Indonesia. Ceritanya menceritakan sosok pemuda yang bernama Roy tentang pengembaraan dan petualangan serta lika-liku kehidupan yang dia jalani di kota-kota di mana kakinya ingin melangkah dalam pencarian identitas diri. Sumber: http://jedahsejenak.blogspot.com/2010/07/balada-si-roy.html
[4] Narkoba, kekerasan antargeng, pengangguran, kebosanan, kriminalitas, dan rendahnya tingkat pendidikan belum sepenuhnya hilang dari Jakarta. Di Jalan Proklamasi sendiri, pada bulan Juni 2000, sebuah kerusuhan pernah terjadi. Lebih dari 300 orang dewasa dan anak muda dari dua kelompok yang bermusuhan turun ke jalan. Sumber: Mereka yang Tak Terlihat: Kemiskinan dan Pemberdayaan di Indonesia. 2010. Jakarta: Godown, imprint Yayasan Lontar
[5]  Menurut data dari sebuah Puskesmas di Menteng, di sebuah daerah sekitar Jalan Proklamasi terdapat 158 penduduk yang meninggal karena overdosis putaw antara tahun 1998 sampai 2007. Sejumlah lainnya meninggal setelah membeli narkoba di daerah ini dan mengkonsumsinya di tempat lain. Banyak lagi dari mereka yang meninggal karena AIDS, keracunan darah, dan hepatitis. Sumber: Mereka yang Tak Terlihat: Kemiskinan dan Pemberdayaan di Indonesia. 2010. Jakarta: Godown, imprint Yayasan Lontar
[6]  Pembuangan atau penelantaran bayi adalah hal yang sering tejadi di Jabodetabek. Menurut Sekjen Komnas PA, Samsul Ridwan pembuangan bayi sepanjang tahun 2011 tercatat 186 bayi. Angka ini meningkat dibanding 2010 yang tercatat sebanyak 104 bayi dibuang oleh orangtuanya sendiri. Sumber: http: //news.okezone.com/read/2011/12/20/338/544958/setahun-186-bayi-dibuang-di-jabodetabek
[7]  Mahabbah adalah Bahasa Arab dari cinta. Menurut  Imam Al-Hujwiri dalam kitabnya Kasyful Mahjub menjelaskan makna Mahabbah berasal dari kata “habbah” yang berarti benih-benih/biji yang jatuh ke bumi di padang pasir. Mahabbah dikatakan berasal dari kata itu karena dia merupakan sumber kehidupan. Sebagaimana benih itu tersebar di gurun pasir, tersembunyi di dalam tanah, dihujani oleh terpaan angin, hujan dan sengatan matahari, disapu oleh cuaca panas dan dingin, benih-benih itu tidak rusak oleh perubahan musim, namun justru tumbuh berakar, berbunga dan berbuah. Demikian halnya cinta sejati, tak lapuk dengan sengatan mentari dan guyuran hujan, tak lekang oleh perubahan musim dan tak hancur berantakan oleh terpaan angin. Sumber: http://jejakjejakjejak. wordpress.com/2011/05/22/cinta-dalam-bahasa-arab/
[8] Program methadon adalah salah satu cara rehabilitasi narkoba dengan cara mensubtitusikan narkoba yang biasa dipakai dengan methadon yang juga merupakan narkoba dengan resiko kecanduan yang lebih rendah. Di Jalan Proklamasi, Program Methadon dilakukan di salah satu puskesmas di sana. Selengkapnya tentang program methadon bisa dilihat di http://pramareola14.wordpress.com/2009/07/23/mengenal-program-terapi-rumatan-metadon-ptrm-sandat-rsup-sanglah/
[9]  Iwan Fals dan Harry Roesli adalah orang-orang yang dianggap pahlawan oleh para remaja di daerah Jalan Proklamasi. Gambar grafiti mereka dapat ditemui di sebuah sanggar di daerah tersebut.
[10] Menurut data di tingkat Polda Metro Jaya, antara bulan Januari dan Oktober 2011, tercatat 6.728 kasus kecelakaan yang menyebabkan 935 orang tewas. Tahun 2010, angka kecelakaan mencapai 8.235 kali dengan 1.048 orang tewas.
Untuk wilayah Jakarta Pusat saja, berdasarkan keterangan Kepala Unit Kecelakaan Lalu Lintas Polres Metro Jakarta Pusat Ajun Komisaris Antoni Wijaya, antara bulan Januari dan November, terjadi 536 kecelakaan.
Dari jumlah itu, 175 merupakan kasus tabrak lari. Total jumlah korban tewas mencapai 79 orang, 283 orang mengalami luka berat, dan 171 orang luka ringan. Kerugian material akibat kecelakaan mencapai lebih dari Rp 10 miliar. Sumber: http://regional.kompas.com/read/2011/12/21/02454036/.10.Bulan.900.Orang.Tewas.di.Jalan

1 comments:

Jakarta, Aktual.com — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus ‘mempercantik’ area-area yang akan dijadikan pusat peringatan hari Kemerdekaan RI ke-70 di Jakarta. Namun, nada kecewa justru datang dari Wakil Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat saat melihat kondisi kawasan Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat.

Taman tersebut tampak kumuh dan kotor. Bahkan tiang bendera yang mestinya memiliki tinggi 17 meter, ternyata hanya setinggi 10 meter.

Wagub Djarot Kecewa Tugu Proklamasi Kotor

Post a Comment