5:48 PM -
Kajian Tafsir Salman ITB
No comments
Kiamat dalam Perspektif NU (Bag. I)
Sebagai bagian dari Diskusi
Tafsir Ilmiah tematik tentang kiamat, YPM Salman ITB mengundang sejumlah pakar
perwakilan ormas dan kelompok Islam. Mereka diundang untuk menyajikan pandangan
ormas/kelompoknya masing-masing mengenai dalil-dalil seputar kiamat. Hasil
pemaparan mereka selanjutnya akan dikaji, dipilah dan disimpulkan oleh Tim
Tafsir Ilmiah Salman ITB, sebagai bagian naskah tafsir ilmiah tentang Hari
Kiamat.
Pada
Misykat
edisi 90 dan 91, pemaparan yang dimuat adalah perspektif ormas NU (Nahdatul
Ulama) yang diwakili oleh resume pemaparan K.H. Thontowi Djauhary Musaddad,
pengasuh pondok Pesantren Al-Wasilah, Garut pada Senin, 12 November 2012 (dengan
penyuntingan seperlunya).
Membaca Policy di Balik Sistem-Nya
Dalam Islam, membaca hukum agama
tidaklah terlalu sulit karena adanya mazhab, pola pikir, dan kitab yang
membimbing untuk memahaminya. Hal yang lebih sulit daripada membaca hukum
tersebut adalah membaca sistem yang dibuat Allah untuk dunia nyata. Analoginya,
ketika seseorang ingin bekerja menjadi profesi tertentu, melakukan transfer
uang dan sebagainya, tentunya akan memerlukan suatu sistem. Begitupun Allah dalam
mengatur alam. Menemukan sistem yang dibuat Allah tersebut dalam mengatur alam
bukanlah perkara mudah, walaupun sistem ini sudah tersirat
dalam Alquran.
Misalnya, dinyatakan bahwa alam
tidak hanya satu, tetapi ada alam nyata dan alam gaib. Allah menyatakan, Wa
lillahi junudus samawati wal ardh, bahwa ia
mempunyai pasukan yang manusia tidak ketahui.
Hal ini secara tak langsung menunjukkan bahwa ada berlapis-lapis sistem yang
dibuat oleh Allah.
Dari sistem tersebutlah, kemudian
akan terbaca sebuah policy. Seperti
ketika seseorang membaca undang-undang, tentunya tidak akan ada kalimat “kepentingan kapitalisme” di dalamnya. Akan
tetapi, bagi seorang pengamat yang jeli, undang-undang tersebut dapat dikatakan
jelas mengarah ke kapitalisme atau monopolistik, dengan
memahami konteks yang dijabarkannya. Dari pemahanan akan
sistem yang diterapkan oleh Allah, maka akan terlihat policy-Nya, mengarah kemana, apa yang dikehendaki-Nya. Inilah hal yang paling
sulit.
Sangat
sedikit orang yang mampu “melihat” arah policy-Nya
ini. Rasulullah bersabda, Ittaquu firosatal
mu'min, fa-innahu
yanzhuru bi nuurillah (Waspadalah dengan firasat orang beriman,
sesungguhnya ia melihat dengan cahaya Allah).
Orang-orang yang disebut hadits inilah yang
mengerti akan policy
tersebut. Sayangnya, terkadang manusia hanya
melihat dari hal-hal yang jelas saja seperti logika, angka, dsb. Berbeda dengan orang-orang yang melihat
dengan cahaya Ilahi. Saat orang lain belum mengerti, mereka sudah terlebih
dahulu mengerti. Apabila
orang lain baru percaya setelah dibuktikan secara
ilmiah, mereka tidak perlu menunggu pembuktian tersebut.
Lewatnya Ambang Batas
Dengan
perspektif sistem dan policy yang
disinggung di atas, terjadinya kiamat dapat dipandang sebagai sebuah
fase/tahapan yang diciptakan Allah Swt. dalam kerangka sistem yang lebih besar
yaitu sistem “kehidupan”.
Kiamat adalah fase yang memisahkan antara kehidupan dunia dengan
kehidupan akhirat atau kehidupan sementara dengan kehidupan abadi. Apabila
kematian seorang adalah salah satu fase bagi kehidupan dirinya,
maka Hari
Kiamat adalah fase bagi
kehidupan seluruh alam ini. Mereka
yang telah mati ratusan ribu tahun yang lalu, juga menunggu fase Kiamat ini. Sedangkan mereka yang hidup saat
kiamat terjadi, akan menerima secara
langsung fase tersebut tanpa harus menunggu.
Sebelumnya, telah disampaikan
bahwa membaca sistem yang dibuat Allah adalah hal
yang sulit. Salah satu jenis sistem
yang sulit dibaca tersebut adalah sistem
yang memudahkan manusia memahami mengapa
suatu hal bisa terjadi. Seperti dalam tanda-tanda kiamat, di dalamnya terdapat
fenomena alam (banyaknya bencna alam, gempa bumi, dsb) dan fenomena sosial
(degradasi moral, semakin banyaknya wanita daripada pria, dsb), yang sifatnya untuk memudahkan membaca kapan
kiamat akan terjadi.
Selain itu, ada juga
petunjuk-petunjuk Allah lainnya yang memudahkan manusia memahami bagaimana
kiamat terjadi. Misalnya dalam surat Al-Zalzalah,
dinyatakan bahwa nanti ketika kiamat, bumi
akan berbicara. Para sahabat ketika itu tercengan membaca ayat ini. Mereka lalu
bertanya kepada Rasulullah Saw., “Apa yang akan dibicarakan bumi?”. Beliau menjawab, “Kalian berbuat baik atau jelek
di muka bumi. Ketika kalian berbuat hal tersebut, maka bumi akan merekamnya.”
Di sebuah hadits juga dinyatakan,
ketika seseorang berbuat baik, apabila ia berpendengaran
tajam, maka ia akan mendengar suara dari bumi, “Terima kasih, aku telah dipakai
untuk beribadah. Kelak, bila engkau masuk ke dalam perutku, aku akan rayakan
kedatanganmu karena telah membuatku beribadah kepada Tuhan”. Sebaliknya,
apabila bumi dipakai maksiat, bumi akan marah. Magma bumi, binatang melata, dan
sebagainya akan masuk ke dalam kuburan orang tersebut.
Artinya, bumi akan merekam segala
aktivitas manusia selama hidupnya. Semua komponen bumilah yang akan menjadi
alat perekamnya. Manusia saja dapat memanfaatkan apa-apa aja yang datang dari
bumi, lalu menciptakan teknologi dari hukum alamnya. Apalagi Sang Penciptanya,
tentunya mampu berbuat lebih dari daripada itu.
Manusia apabila direkam kamera,
kadang ia tak menyadari keberadaan kamera tersebut. Allah, dalam mengatur
sistemnya, membuat agar manusia tak bisa mengelak. Innahu 'ala kulli syaiin syahid, (“Sesungguhnya
Allah Maha Menyaksikan”). Jadi, Allah
memasang kamera yang begitu banyak.untuk mengawasi manusia. Ada Allah yang
menyorot langsung, kemudian para malaikat yang memperhatikan, Roqib dan Atid
yang mencatat perbuatan manusia, bahkan tangan dan kaki manusia sendiri pun
akan berbicara di hari akhir nanti sebagai saksi. Rasulullah juga menegaskan bahwa salah satu tugasnya adalah
meyakinkan manusia tentang kebenaran pengawasan
tersebut.
Lantas
apa kaitan sistem perekam ini dengan Kiamat?
Tadi telah disebutkan bahwa bumi itu merekam segala
aktivitas manusia. Dalam merekam aktivitas-aktivitas
tersebut, bumi memiliki standar toleransi.
Batas
toleransi ini bisa diumpamakan sebagai berikut.
Ketika seseorang mengisi tabung gas yang
batas maksimalnya 10 liter, ketika dipaksa sampai
angka 20, tentunya tabung gas tersebut akan
meledak. Makanya, dalam kalimat tanda-tanda kiamat, kiamat akan terjadi saat
dunia sudah dipenuhi zina, riba, dan hal-hal
buruk lainnya.
Perumpamaan
lagi, seandainya di Bandung para pedagangnya 60 %
lebih melakukan kecurangan, maka bandung akan “meledak”! Entah itu dalam artian terjadinya banjir, atau gempa, atau
bencana lainnya.
Atau
jika remaja di Bandung yang usianya 12 tahun sebanyak 50 % telah melakukan hubungan intim sebelum menikah,
maka bumi juga akan “meledak”. Jika para dokter banyak yang memeras pasiennya
hingga melebihi sekian persen, maka bumi juga akan “meledak”. Jika para
penguasa yang melakukan keburukan melebihi sekian persen, maka bumi akan “meledak” pula.
Itulah beberapa contoh akumulasi kerusakan yang tidak bisa lagi ditoleransi bumi karena
melebihi ambang batas kemampuannya. Makanya, sebuah negeri akan mendapat
musibah jika masyarakatnya melebihi batas sebagaimana yang digambarkan di atas.
Musibah
atau bencana adalah akibat overload-nya
sistem bumi yang telah melampui batas toleransinya merekam dosa manusia,
sehingga menyebabkannya meledak. Banyak hadits juga yang membicarakan
tentang hal tersebut.
artikel diterbitkan di Buletin Misykat edisi 90, Jumat 23 Muharram 1434 H/07 Desember 2012 M
(ditranskrip oleh Eko Apriansyah)
0 comments:
Post a Comment