8:35 PM -
Bincang-bincang
No comments
Mengikrar Ulang Sumpah Pemuda
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu,
tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa
Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia.
Sumpah
pemuda kini menjadi suatu ironi di Indonesia. Poin-poin yang disematkan pada
tanggal 28 Oktober delapan puluh empat tahun yang lalu kian memudar dalam diri
pemuda Indonesia. Sikap hedonis, skeptis, hingga apatis telah menjadi momok
bagi sikap nasionalis dan kritis yang harusnya dimiliki oleh sosok pemuda.
Hal ini
salah satunya disebabkan oleh perkembangan teknologi dan era globalisasi yang
merupakan suatu yang tak bisa disingkirkan dari kehidupan pemuda sekarang. Pola
hidup yang serba instan dan masuknya budaya-budaya asing menjadikan banyak
pemuda salah tafsir tentang apa yang seharusnya mereka lakukan menghadapi hidup.
Bukannya menghadang hal-hal negatif yang ditimbulkan hal tersebut, tapi
mayoritas malah mengambilnya sebagai acuan tindakan dan perilaku mereka.
Apakah hal
ini yang diinginkan dari sumpah pemuda? Sudah tentu tidak! Apabila kita kaji
dari sisi sumpah yang pernah diikrarkan oleh para tokoh pemuda dahulu, sumpah
itu merupakan tekad mereka untuk membangun Indonesia lebih baik, mengangkat
harkat dan martabat hidup orang pribumi, sebagai bukti pergerakan para pemuda membela
bangsa. Terlebihnya lagi, saat itu status Indonesia masih merupakan daerah jajahan
kaum kolonial.
Dalam memperingati Hari Sumpah
Pemuda, sudah seharusnya kita mengevaluasi bagaimana perkembangan semangat
Sumpah Pemuda yang diwarisi oleh para pendahulu. Pertama, bagaimana rasa cinta tanah air kita? Berkaca pada
fenomena-fenomena yang marak terjadi sekarang, korupsi yang merajalela, para pemimpin
yang hanya memikirkan keuntungan pribadi, hingga rakyat yang bersikap apatis
terhadap kebijakan pemerintah, apakah ini bentuk cinta tanah air? Pastinya tidak.
Apabila kita sebagai pemuda tidak merasa gregetan
untuk mengubahnya, bisa jadi semangat sumpah pemuda di dalam diri kita perlu
dipertanyakan.
Selain hal di atas, ada lagi fenomena
para pemuda yang belajar di luar negeri yang enggan kembali ke Indonesia
merupakan salah satu bukti semakin memudarnya rasa cinta tanah air. Ya, hal ini
memang disebabkan banyak faktor, dari mulai ketidak pedulian pemerintah
terhadap nasib mereka ketika kembali ke Indonesia, gaji di negeri seberang yang
lebih menjamin, atau keterpaksaan karena fasilitas di Indonesia yang kurang
memadai. Tapi hal ini sebenarnya kembali kepada diri mereka masing-masing,
seberapa cintakah mereka untuk memajukan Indonesia? Mari kita buka lembar
sejarah dahulu, bukannya banyak tokoh Indonesia yang kembali untuk memajukan
Indonesia setelah menyelesaikan pendidikannya di luar negeri, sebut saja contohnya
Bung Hatta, wakil presiden pertama Indonesia yang pernah mengeyam pendidikan di
Belanda.
Kedua, bagaimana dengan identitas kebangsaan
kita? Pemuda Indonesia kian kehilangan identitasnya. Budaya-budaya asing
kini mulai merambah nilai-nilai yang hidup dalam diri mereka. Contohnya, budaya
K-Pop yang sekarang sedang digandrungi oleh banyak anak muda di Indonesia.
Budaya ini membuat anak muda memuja dan meniru para idolanya yang merupakan
aktivis dunia hiburan yang belum tentu dapat menjadi teladan yang baik. Padahal,
di Indonesia sendiri banyak tokoh-tokoh yang dapat menjadi panutan para pemuda,
seperti Soe Hok Gie yang berjuang membela Indonesia walaupun dia keturunan
etnis Cina.
Ketiga, bagaimana dengan bahasa Indonesia
yang seharusnya kita junjungkan? Penggunaan bahasa Indonesia kini makin banyak
terjadi penyelewengan. Mulai dari bahasa-bahasa asing yang dicampuradukkan
dengan bahasa Indonesia, hingga bahasa alay
atau bahasa slang yang sekarang kian produktif disebabkan fenomena media sosial
yang digandrungi oleh anak muda sekarang. ‘Ciyus’, ‘miapah’, ‘enelan’, dan
sebagainya, menjadi kata-kata yang umum digunakan oleh mereka. Dari fenomena
bahasa ini, kita bisa melihat bagaimana keadaan mental para anak muda yang
kembali ke dunia kanak-kanaknya.
Momentum sumpah
pemuda ini sudah seharusnya menjadi refleksi para pemuda, khususnya para anak
muda, untuk mengoreksi apakah sumpah yang dahulu diikrarkan para pendahulu
sudah melembaga dalam hati dan tindakan. Jangan hanya bisa menjadi para
pengkritik pemerintah tanpa mengevaluasi diri. Coba tanyakan pada diri, ‘apakah
nilai-nilai kepemudaan sesungguhnya telah saya laksanakan?’
Semua
memang butuh proses, tetapi itulah yang menjadi tantangan para pemuda untuk
mengikrar ulang sumpah pemuda menjadi suatu yang riil demi kemajuan Indonesia.
0 comments:
Post a Comment