10:03 PM -
Kisah Penggugah Jiwa
No comments
Titik Hidup
sumber gambar: easydizzy.deviantart.com |
Kukenalnya sebagai tanda baca dalam
kehidupan
Di mana semuanya berhenti ataukah
akan kulanjutkan lagi
Untuk menyusun rerangkai cerita
Yang akan kubukukan sebagai sejarah
“Ian, setelah wisuda ini kamu mau apa? Pasti menikah,
ya?” ujar Ahmad kepadaku sembari merangkul diriku yang masih memakai toga.
“Nggak.
Aku belum akan menikah. Aku masih ingin berpetualang keliling dunia, Mad.”
“Lha,
bukannya kamu sedang dekat dengan seorang perempuan?”
“Siapa bilang? Nggak
ada kok!”
Aku pura-pura tak tahu, walaupun sebenarnya aku
paham bahwa perempuan yang dimaksudkan Ahmad itu adalah Zahra. Sosok perempuan
muslimah yang sering digosipkan dekat denganku. Ya..., kami sebenarnya memang sempat
dekat. Tetapi itu dahulu, bukan sekarang.
Bagiku, aku bukanlah orang yang pantas untuk memiliki
Zahra. Dia terlalu lurus. Berbanding terbalik denganku yang masih liar dan ingin
bebas. Seorang aktivis keislaman sepertinya apabila disandingkan denganku yang
pencinta sastra ini sangatlah tidak berimbang. Ia sangat paham akan agama
sedangkan aku masih tertinggal jauh darinya. Namun, benar kata orang, apabila
sudah terkait dengan hati, alasan-alasan logis seakan tak berguna. Begitupun bagi
Zahra, jeratan perasaan telah membuatnya seolah tak sadar siapa diriku
sesungguhnya. Ia hanya melihatku sebagai sosok ideal seperti tokoh pemuda
muslim yang kuceritakan dalam novel pertamaku yang dibacanya.
Pernah suatu kali, Zahra meminta padaku agar segera
melamarnya. Aku kaget karena aku merasa kami tidak punya hubungan lebih dari
sekadar teman walaupun dapat dikatakan kami berdua cukup akrab. Gadis bermata
jeli itu sesekalinya menatap mataku dengan penuh harap, padahal dari dulu
hingga saat itu, dia hampir tak pernah berani menatap mataku. Entah ada
kekuatan apa yang membuatnya sanggup melakukan hal tersebut. Aku jadi salah
tingkah karena jauh di dasar hatiku juga memendam rasa padanya. Lelaki mana
yang tak gemetaran bila di hadapkan dengan sosok perempuan salehah nan rupawan
yang bersedia menjadi pedamping hidupnya?
“Zahra, menikah adalah sebuah titik dalam paragraf
hidupku. Di mana aku harus membuat kalimat baru untuk melanjutkan titik itu.
Aku masih belum ingin membuat titik ketika kalimat sebelumnya belum aku
selesaikan. Kamu tahukan kalau aku ingin menjadi musafir dan berkeliling untuk
melihat dunia ini?” jawabku padanya.
“Kamu bisa mengganggapku sebagai koma, biar kamu
bisa sejenak berhenti untuk meneruskan kalimatmu itu nanti, Ian. Kamu bisa
melakukan perjalanmu bersamaku,” balas Zahra dengan bola mata yanga
berkaca-kaca.
“Aku mungkin bisa menuliskanmu sebagai koma, tapi
bagimu aku tetaplah akan menjadi titik yang membuatmu menuliskan kalimat baru
dalam paragraf hidupmu. Sebaiknya kaupilih orang lain yang juga bersedia
menjadikan dirimu sebagai titik dalam hidupnya, sehingga kau tak perlu mengubah
kisahmu menjadi kisah yang tak sesuai dengan citamu. Aku mengenalmu, Ra. Kamu
takkan sanggup bertahan bersamaku.”
Setelah kejadian itu, hubungan pertemananku dengan
Zahra menjadi rengagang. Kami selalu saling menghindar ketika berjumpa. Adapun
interaksi yang kami lakukan hanyalah saling sapa tanpa melihat wajah. Tampaknya
Zahra kecewa dengan jawabanku kepadanya saat itu.
Tak selang berapa minggu lamanya, kudengar kabar
bahwa Zahra akan melangsungkan pernikahannya dengan seorang lelaki lulusan
salah satu universitas terkemuka di Bandung. Lelaki yang sungguh berbeda dariku.
Lelaki itu jelas mempunyai masa depan cerah karena bekerja di sebuah perusahaan
besar dan ia juga dari kalangan keluarga yang agamis. Tak seperti diriku yang
masih senang bergelut dengan dunia tulis-menulis tanpa ada kejelasan materi dan
hampir tak pernah bersinggungan dengan kegiatan keislaman. Adapun kegiatan
keislaman yang kulakukan hanyalah membaca buku-buku keislaman yang dijadikan
referensiku dalam menulis novel.
Zahra kini sudah menemukan titik untuk membuat
kalimat baru dalam paragraf hidupnya. Aku sendiri masih meneruskan kalimat
tentang impianku yang belum mencapai titiknya. Kalimat yang masih bisa kuhapus
ataupun kutulis ulang beberapa katanya agar mencapai kalimat efektif yang ingin
kurangkaikan sebelum membubuhkan titik di depannya. Sebuah petualangan yang
telah kunantikan sedari kecil, yaitu membaca dan menuliskan semesta-Nya untuk
kupelajari.
Seharusnya penantian itu terwujud dalam waktu dekat
ini. Tepatnya setelah aku menyelesaikan novel kelima yang sudah mencapai
penulisan bab terakhirnya. Namun, ternyata Tuhan berkehendak lain. Pada hari
ini kutemukan titik hidupku yang lain. Di jalanan yang licin karena hujan. Ketika
motor yang kukendarai menuju tempat resepsi pernikahan Zahra berhadapan dengan
sebuah truk yang tiba-tiba oleng di tengah jalan.
Yansa El-Qarni,
24 November 2014
0 comments:
Post a Comment