10:47 PM -
Kisah Penggugah Jiwa
No comments
Tetesan Air Mata Cinta
sumber gambar: hartakata.wordpress.com |
Pernah
membuat ibumu menangis? Sampai beliau mengunci diri di kamarnya sendirian? Lalu ketika kau memanggilnya tak ada jawaban
selain isak tangisnya dari dalam kamar? Aku
pernah melakukannya, Sobat.
Entah
apa yang aku dan kakakku dahulu pikirkan. Saat itu kami berdua kompak untuk membuat perempuan itu menangis. Sosoknya yang tegar itu kami buat menitikkan air mata hingga mengalir melalui
celah-celah kerutan bawah mata penanda keriputnya. Keriput seorang ibu yang
selalu memikirkan anak dan keluarganya, bekas goresan waktu dan beban pikiran
yang mungkin tiada henti berputar di kepalanya kemudian mengendap di
garis-garis wajahnya.
Siang
itu, sekali-kalinya aku dan kakakku berbeda pendapat dengan beliau. Sekali-kali
itu pula kami beradu mulut sampai membentaknya. Sekali-kali itu
jugalah yang menjadi momen dan akan kami ingat
selamanya. Ini terjadi karena sesuatu yang sebenarnya
sepele, kami tidak suka dengan perilaku ibu yang suka mengoceh! Terlebih apabila beliau tidak setuju dengan
pendapat kami, seolah ocehan dari mulutnya takkan
berhenti dari pagi hingga pagi lagi. Bahkan, bapak kami pun akan memilih diam apabila telah melihat ibu seperti
itu.
“Ibu
tidak suka kalau kalian melakukan hal itu!”
“Teman-teman
kami saja pada dibolehkan sama orang tua mereka kok, Bu!”
“Pokoknya
kalau kata ibu tidak boleh ya tidak boleh!”
“Tapi
kan, Bu…!”
“Kalian
dengarkan saja kata-kata ibu!”
Beliau
memang tergolong orang yang tempramen, mudah marah dan sangat cerewet. Saat aku
dan kakakku membuat beliau menangis dulu, kami berdua berada di usia yang labil. Remaja yang baru mengenal dunia keremajaannya. Sementara itu, ibu masih menganggap
kami sebagai anaknya yang masih selalu menurut, anaknya yang apabila diberi
uang jajan akan diam dan segera berlari ke toko lalu kembali membawa jajanan
dengan wajah ceria. Beliau sepertinya lupa kalau para anaknya ini sudah mulai tumbuh semakin dewasa.
“Ah, ibu ga ngerti kami!”
“Ibu
kuno!”
“Ibu
cuma tahunya itu-itu mulu. Ga mau ngalah sama anaknya terus!”
“Ibu
jahat!”
Keluarlah
kata-kata kasar dari mulut kami. Kata-kata yang sangat dilarang oleh Sang Rahman
untuk diucapkan kepada orang tua. Kata “ah” dan kata-kata lainnya itu menghujam tepat ke
bilik jantung beliau. Saat itulah bibirnya bergetar dan terdiam. Perempuan paruh baya itu menatap kami nanar,
lalu beranjak pergi meningalkan kami dengan langkah cepat. Kami langsung saling tatap kemudian terdiam. Baru kali
ini kami melihat beliau seperti itu. Entah apa gerangan yang terjadi pada
beliau. Apakah beliau begitu sakit hatinya karena perkataan kami tadi?
Semalam
penuh ibu mengunci dirinya di kamar, melantunkan isak tangis yang membuat
kami gelisah. Tak mau diajak makan oleh kami, bahkan tidak menyahut saat
dipanggil. Bapak pun hanya sesekali ke kamar menemuinya. Tidak ada banyak suara ketika mereka berdua berada di kamar.
Paginya,
kami melihat kembali sosok perempuan itu dengan senyuman
hangatnya kepada kami. Beliau sudah keluar dari peraduannya semalam. Pelukan
sayang langsung kami layangkan padanya. Dibalasnya pelukan kami dengan pelukan
erat dan ciuman di dahi kami berdua. Hangat, kami bertiga menikmati kebersamaan
ini dengan saling menyelami perasaan masing-masing. Tiba-tiba air mata beliau
menetes kembali dari matanya yang mulai merabun. Tetesan air mata cinta. Jatuh
tepat menetes di wajah kami yang menatapnya lembut.
“Ibu
minta maaf pada kalian ya, Nak. Ibu sayang kalian berdua.”
Yansa El-Qarni,
tulisan lama yang disunting kembali
0 comments:
Post a Comment