1:15 AM -
Kisah Penggugah Jiwa
12 comments


Daarut Tauhid
“Wuih…, subhanallah!”
“Astagfirullah! Hoy, Ahmad! Kamu mau ngurangin
pahalamu, ya?”
“Rezeki
itu, Suf. Jangan disia-siakan, atuh.
Hehe.”
“Itu
bukan rezeki namanya. Itu, mah, zina!
Dari tadi kamu plototin terus tuh akhwat, dari tadi dia mucul sampai
dia melewatimu.”
“Kan, bening, Suf. Kamu tidak tertarik
apa?”
“Nggak!”
Sahabatku
Yusuf ini memang terlalu alim orangnya. Berbeda denganku yang matanya masih
suka berkeliaran ke sana-ke mari. Apalagi kalau ada akhwat, selalu saja aku berhasil ditaklukkan mereka dengan tampilan
perempuan muslimahnya yang serba berpakaian lebar yang membuatku terpesona.
Padahal ini sudah tahun kedua aku nyanti di Pesantren Daarut Tauhid (DT)
Bandung pada Program Pesantren Mahasiswanya (PPM), tetap saja jiwa ini tidak
bisa menghilang begitu saja.
Di
pesantren ini aku dan teman-temanku yang semuanya adalah mahasiswa, bisa
berkuliah sambil nyantri. Ada yang masuk ke program ini karena ingin
benar-benar belajar tentang islam, salah satunya Yusuf, dan ada pula yang hanya
karena mencari tempat tinggal, salah satunya aku. Maklumlah, biaya program ini
plus asramanya hanya 2,8 juta per tahun, lebih murah dibanding rumah kos yang
berada di dekat kampusku yang rata-ratanya di atas 3 juta.
Hmmm, tapi itu dulu, sih. Niat awalku tersebut sudah mulai
berubah karena lingkungan dan teman-temanku di sini rata-rata religius semua.
Ditambah lagi aku terjebak masuk salah satu Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di
kampusku, UPI. Jadi, deh, sekarang
aku ikhwan. Ya…, tapi masih ikhwan nyeleneh. Hehe.
Yusuf,
sahabatku ini, adalah penyebab semuanya. Dia yang mengajakku ngekos bareng di tempat murah, yang
ternyata pesantren, dan masuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang seru, yang
ternyata LDK. Maklumlah, aku sebagai perantau dari kampung ini memang kurang
tahu mengenai kota besar dan dunia kampus sebelumnya. Yusuflah yang membantu
dan membimbingku ketika aku baru sampai pertama kali di Bandung sendirian.
Padahal waktu itu kami baru pertama kali bertemu di Masjid DT, namun dia
langsung tak segan menolongku sampai sekarang.
Ya,
dia adalah ikhwan sesungguhnya, ikhwan luar biasa yang kukagumi. Sosok
lelaki yang berjanggut dan selalu memakai peci ke mana pun dia pergi. Namun,
penampilannya tersebut tidak pernah menghalanginya untuk bergaul dengan siapa pun.
Sekarang
kami berdua dalam perjalanan menuju Masjid DT yang jaraknya sekitar tiga ratus
meter dari asrama. Kami berdua akan menemui Aa Gym, kiai pesantren kami, untuk
mengundang beliau menjadi pemateri di acara LDK yang aku menjadi ketua
pelaksananya. Acara yang aku juga bingung kenapa aku bisa terpilih menjadi
ketuanya.
Nah, yang jadi masalahnya sekarang, Aa
Gym sangat sulit dihubungi, apalagi ditemui. Ditambah lagi, sekarang beliau
menjadi incaran banyak media massa karena belum lama ini menikah lagi dengan
Teh Nini, mantan istrinya. Kami yang notabene santrinya ini, sekarang jadi agak
sulit untuk menemui beliau juga. Parahnya lagi, ide acara kami untuk mengundang
Aa Gym ini mendadak, padahal acaranya tiga hari lagi. Lalu bodohnya lagi, aku
menyetujui usulan tersebut! Karena aku santrinya, maka jadilah aku sebagai orang
yang menghubungi beliau bersama Yusuf. Mulutku sekarang merasakan akibat
perkataannya.
***
Akhirnya,
kami berdua sampai di Masjid DT. Sebuah bangunan berarsitektur modern berwarna putih
dengan lambang DT yang menghiasi dindingnya. Uniknya lagi, tidak ada menara di
masjid ini, sehingga apabila orang sekilas melewatinya, terkadang tidak akan
sadar kalau yang dilewatinya adalah masjid.
Masjid
ini dipakai oleh masyarakat umum, mulai dari mahasiswa UPI sampai para sepuh
yang ada di sekitarnya yang bukan merupakan orang dalam pesantren. Maklumlah,
Pesantren DT ini tidak ada pagar pembatasnya layaknya pesantren-pesantren pada
umumnya. Sehinga semua orang, baik itu laki-laki maupun perempuan, dari
penjahat sampai alim ulama, bisa bebas beribadah di sini. Sebuah inovasi pesantren
baru yang dibuat oleh kiai kami, K.H. Abdullah Gymnastiar, alias Aa Gym.
Berlanjut
kepada tujuan kami untuk menemui beliau yang biasanya menempati ruangannya yang
berada di belakang mimbar masjid. Kami sebelumnya harus melalui alur birokrasi
dengan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) DT yang ketat. Saking sulitnya alur
birokrasi tersebut, kami para santri terkadang menyebut mereka sebagai Tembok
Besar Aa, yang dipimpim Kang Udin sebagai algojonya.
Kini,
kami berdua sedang berhadapan dengan Kang Udin di ruang DKM. Wajahnya yang
sangar dan tubuhnya yang kekar membuat kami agak ciut. Walau begitu, aura
religius terpacar dari sosoknya. Aku jadi berpikir mungkin sosok Umar bin Khatab
dulu adalah sosok seperti ini.
“Apa!?
Kalian mau bertemu Aa Gym untuk meminta beliau mengisi ceramah di acara kalian
yang akan diselenggarakan tiga hari lagi? Itu tak mungkin!”
“Makanya
kami ingin bertemu langsung dengan beliau, Kang.”
“Beliau
itu sudah banyak agenda! Kalian ini santri, tapi, kok, mau nyusahin kiai
sendiri!”
“Tapi,
Kang….”
“Ga da tapi-tapian! Kalian pulang sana ke
asrama, cari pemateri yang lain!”
“Hanya
beliau yang bisa, Kang.”
“Dasar
kalian ini!”
Kang
Udin segera menarik kami keluar dari ruangannya. Ditariknya baju kami hingga
salah satu kancing baju koko Yusuf lepas. Sosok itu memang sudah lama tersiar
keangkerannya, dan sekarang kami menjadi salah satu korbannya. Masa dia tega
dengan kami yang tampangnya sudah hampir dua tahun sering berkeliaran di masjid
ini.
“Jangan
pernah balik lagi ke sini, kecuali untuk solat dan ngaji!”
Kang
Udin merebahkan kami berdua tepat di depan trotoar halaman masjid yang tepat berada
di pinggir jalan raya. Ditatapnya kami dengan mata yang mengintimidasi, lalu kemudian
ditinggalkannya kami berdua tanpa perasaan bersalah. Tak ayal kejadian kami ini
menjadi tontonan umum dan membuat para pejalan kaki keheranan, bahkan ada yang
tersenyum. Namun, hal ini tidak akan membuat semangatku dan Yusuf turun. Kami
belum menyerah!
“Bagaimana
kalau kita menyusup ke ruang Aa secara diam-diam, Suf?” pikiran nyeleneh-ku tiba-tiba muncul.
“Hei, itu tidak baik, Mad!”
“Kalau
begitu kamu tahu bagaimana cara kita bisa menemui Aa selain dengan hal itu?”
“…,
aku tak tahu, Mad.”
“Ya
sudah kalau begitu, kamu dengarkan dulu ideku.”
Aku
punya ide memanfaat salah satu program santri yang ada di Pesantren ini, yaitu
santri tahfidz (penghafal Qur’an)
yang bebas keluar masuk masjid dan bergerak ke seluruh bagian masjid karena
selain menghafal, mereka juga bertugas membantu DKM dalam membersihkan masjid.
Rencananya, kami akan menyusup dengan menyamar menjadi mereka dengan meminjam
syal biru tua penanda program tahfidz
dan jaket hitam yang menjadi ciri khas mereka. Dengan begitu, aku yakin para
DKM tidak akan mudah mengira kalau ada penyusup masuk. Untungnya aku kenal
beberapa santri tahfidz tersebut.
***
Aku
dan Yusuf kini sudah memakai pelengkapan penyusupan kami. Jaket hitam berbalut
syal biru tua di kerahnya. Tidak lupa pula kami meminjam kopiah dan peci yang
biasanya dipakai mereka agar kami semakin sulit dikenali.
Sekarang
saatnya kami beraksi! Aku memimpin Yusuf melangkah memasuki ruang DKM yang
menjadi gerbang pertama untuk sampai ke ruangan Aa Gym. Jantung kami berdegup
kencang karena tahu ruang DKM ini adalah ruang yang biasanya dijaga langsung
oleh Kang Udin, algojo Tembok Besar Aa tadi. Aku melirik ke arah meja yang
biasa dipakai Kang Udin bertugas. Alhamdulillah,
dia sedang tidak ada! Hanya ada beberapa anggota DKM di ruangan itu yang
berhasil kami kelabui.
Kami
akhirnya berhasil melewati gerbang pertama, kini kami harus melewati lorong
masjid yang menjadi jalan menuju ruangan Aa. Lorong yang cukup gelap karena
tidak ada cahaya matahari langsung yang masuk, sehingga kami hanya bisa melihat
cahaya dari ujung lorong tersebut. Selain itu, lorong ini lumayan panjang
dengan ujung yang berbelok ke arah kiri. Langkah kaki kami bergema di
dinding-dinding lorong yang berbayang redup. ‘Tap…tap…tap…tap…’. Tiba-tiba ada
suara langkah yang datang dari depan kami! Dari arah belokan ujung lorong ini. Semoga itu bukan Kang Udin!
Sosok
itu mulai menampakkan dirinya dari belokan lororng tersebut. Perlahan terlihat
sosok orang yang berbadan besar dan berkulit gelap. Walaupun aku tidak bisa
melihatnya secara jelas, tapi aku yakin
kalau itu Kang Udin! Kami berdua
bingung harus bagaimana. Mau kembali sudah tanggung, tapi kalau terus kami akan
kembali dihajar oleh algojo itu! Bagaimana ini!? Aku berpikir keras.
Kang
Udin berjalan semakin mendekati kami. Beberapa langkah lagi dia akan
berpas-pasan dengan sosok kami. Degup jantung kami sampai terdengar jelas
ditelingaku. Ini gawat! Sosok itu sekarang berada tepat di depan kami lalu
berhenti.
“Assalamualaikum, Syahril. Kamu mau
kemana?”
Syahril?
Ternyata Kang Udin mengira aku adalah santri tahfidz yang aku pinjam pakaiannya ini. Kebetulan, perwakan tubuh
Syahril memang hampir mirip denganku, dari badannya yang kurus sampai cara
berjalannya. Aku berhasil mengelabui Kang Udin! Penyamaranku sukses! Malah
sekarang dia menyodorkan tangannya kepadaku untuk bersalaman.
“Waalaikumussalam, Kang Udin. Saya mau ke
depan sana,” jawabku dengan suara yang agak kuserak-serakkan sambil menunjukkan
jempol ke arah ujung lorong. Aku juga lebih memilih menundukkan kepalaku
menghindari Kang Udin melihat wajahku. Begitu juga Yusuf di belakangku yang
tampaknya belum dipedulikannya.
“Kok, suaramu serak, Ril? Lagi sakit?
Pantas tanganmu ini dingin dan basah banget.
Keringatan terus, ya? Semoga kamu lekas sembuh.”
Itu keringat karena kedatanganmu, Kang Udin!
Keringatku memang terus mengalir dari saat melakukan penyamaran ini, apalagi
ketika Kang Udin datang, banjir. Tapi sejujurnya aku agak kaget juga kali ini,
tak kusangka ternyata dia baik dan perhatian juga orangnya. Coba kamu tadi seperti ini, Kang, mungkin
kami tidak akan senekat ini.
“Oh
iya, Ril. Kamu lihat kacamata Akang, tidak? Akang lupa tadi nyimpannya di mana.”
“Ti…tidak,
Kang. Maaf.”
Rupanya
kami tidak ketahuan ini selain karena lorong ini cukup gelap untuk bisa melihat
dengan jelas dan perawakanku yang mirip dengan salah satu santri tahfidz, ternyata Kang Udin juga sedang
tidak memakai kacamatanya. Alhamdulillah,
Allah kembali menolong kami yang bersungguh-sungguh ini.
“Ok,
terima kasih, Ril.”
Sosok
Kang Udin pergi menjauh meninggalkan kami berdua. Aku sekilas melihat beliau
tampak merasa curiga ketika menyalami Yusuf karena Yusuf sama sekali tidak
bicara. Untungnya, kali ini dia tampak tidak mau ambil pusing.
Akhirnya,
kami berdua akan sampai ke ruangan Aa setelah menaiki tangga yang ada di ujung
belokan lorong ini. Kami harus cepat sebelum Kang Udin menyadari penyusupan
kami ini ketika bertemu Syahril yang asli yang juga sedang berada di masjid ini.
Tangga tersebut kami naiki dengan agak cepat, lalu tibalah kami di ruangan kiai
pesantren kami.
Kebetulan
sekali pintu ruangan tersebut terbuka, sehingga kami langsung masuk ke
dalamnya. Ruangan kiai kami ini tidak begitu besar, hanya ada beberapa lemari
yang penuh dengan buku, satu tempat tidur, dan meja dengan beberapa kursi di
sampingnya yang tampaknya dipakai untuk Aa bekerja dan menerima tamu. Di meja
tersebut kami melihat beliau sedang menulis sesuatu dengan khusyuk di mejanya.
“Assalamualaikum, Aa.”
“Waalaikumussalam. Oh, ada santri tahfidz. Ada perlu sama Aa?”
Alhamdulillah, kami disambut baik dengan
beliau. Biasanya kiai kami ini terkenal dengan ketegasan, jadi aku pikir kami
akan dinasehatinya karena tiba-tiba saja masuk ke kamarnya.
“Maaf
Aa tidak tahu ada kalian masuk. Aa tadi sedang konsentrasi menulis untuk buku
terbaru Aa nanti.”
“Kami
yang seharusnya minta maaf, Aa. Kami yang sudah lancang masuk ke ruangan Aa dan
mengacaukan konsentrasi Aa,” Yusuf mulai beraksi dengan kemampuan bicaranya.
“Aa,
kami boleh minta tolong sesuatu?”
“Ya,
kalau Aa bisa bantu, ya Aa bantu,” beliau tersenyum.
“Sebelumnya
kami ingin memberitahu dulu kalau kami bukan santri tahfidz, melainkan santri PPM.”
“Lho? Kok,
bisa? Pasti gara-gara Udin, ya?” beliau berusaha menahan tawanya.
“Iya,
Aa. Kami tadi dilarang olehnya untuk bertemu Aa.”
“Terus
kalian mau minta tolong apa?”
“Kami
mau meminta Aa untuk mengisi ceramah di acara LDK kami di kampus UPI. Acaranya Sabtu
malam, tiga hari lagi, tapi Aa bisa, kan?” aku langsung menyerobot Yusuf yang
ingin berbicara. Aku ini memang orang yang kurang sabaran.
“Siapa
namamu, Nak?” beliau balik bertanya ke arahku.
“Ahmad,
Aa.”
“Semangatmu
bagus, namamu juga bagus. Nama kecil baginda Rasullullah Muhammad Saw ketika
kecil. Kamu pasti tahu, kan, kalau Aa
ini sudah ada banyak agenda? Tiga hari itu waktu yang terlalu mepet buat Aa.”
“Jadi,
Aa?” aku mulai putus asa.
“Sebelumnya
Aa mau tanya dulu, kenapa kalian walau sudah tahu hal ini hampir mustahil tetap
nekat datang ke sini?”
“Kan, Aa sering berkata selama kita belum
ikhtiar dan berusaha maksimal kita belum tahu hasilnya. Terus yang mengatur
takdir itu Allah, kalau Dia berkata jadi, maka jadilah.”
“Kun fa yakun,” timpal Yusuf.
“Jadi
kami percaya selama kami beriman dan ber-tauhid
kepada Allah, Dia akan memberi limpahan rahmatnya selama dilandasi dengan niat
dan tujuan yang baik.”
Tak
kusangka aku bisa menjawab pertanyaan Aa ini dengan jawaban seperti ini.
Ternyata ikhwan nyeleneh sepertiku
ini bisa mengeluarkan untaian kata seperti yang biasa dikatan beliau.
“Kamu
benar, Nak. Takdir Allah, hari Sabtu malam Aa memang sedang ada waktu kosong.
Jadi tampaknya Aa bisa mengisi di acara kalian,” Aa tersenyum.
“Alhamdulillah! Terima kasih banyak, Aa!”
Aku
dan Yusuf senangnya bukan kepalang. Kami berdua bersujud syukur kepada Allah di
hadapan kiai kami tersebut. Benar kata salah satu pepatah Arab yang kami pernah
pelajari, man jadda wajadda! Siapa
yang sungguh-sungguh, maka ia akan mendapatkannya! Tentunya selama ia berserah
diri kepada Allah.
“Ingat,
barangsiapa yang ber-tauhid, Allah
akan selalu membimbingnya. Lakukan apa pun itu berlandaskan tauhid tersebut.”
“InsyaAllah, Aa.”
Kami
dapat banyak pelajan hari ini, yang semakin meneguhkan keimanan dan tauhid kami. Membuat kami semakin yakin
selama berjuang di jalan-Nya, pasti akan terus ada jalan-Nya. Sebuah esensi
nilai yang kami temukan di pesantren ini, Daarut Tauhid.
Namun,
tampaknya kami melupakan seseorang. Sosok tersebut kini sudah menunggui kami di
luar ruangan Aa. Sosok berwajah sangar yang telah menemukan kacamatanya.
Catatan
*
ikhwan = sebutan untuk lelaki muslim, sekarang ini diidentikkan dengan lekaki
yang memakai baju muslim ke mana-mana.
*
akhwat = sebutan untuk perempuan muslimah, sekarang ini diidentikkan dengan
perempuan yang memakai baju muslim (gamis atau baju dan rok yang lebar) ke
mana-mana.
--------------------------------------------------------------------
cerpen yang gagal tembus lomba... ya sudah saya posting aja... hehehe
12 comments:
menarik...
cukup terbawa alur cerita :)
terima kasih komentarnya... :D
ceritanya ngalir banget, dan tentunya banyak sekali hikmah yang bisa saya ambil..
syukran..
sama-sama... :)
Kang, ini kisah nyata atau fiktif? maaf sebelumnya :D tapi menurut saya sepertinya kisah nyata. saya bertanya seperti ini karena ada hal yang ingin ditanyakan.
Ini fiktif... Tapi latar yang diambil berdasarkan kanyataan, Teh Riska Sartika... :)
Memangnya teteh mau bertanya tentang apa?
Sangat menikmati cerita ini bagus dan menambah keimanan tentang niat baik dan bersungguh sungguh terimakasih.
Sama-sama, Mas... :)
Kereen....
Makasih Mbak Tuti... :)
A masih di dt?
mau nya info biaya smk dt?
agak besar ya?
MasyaALLAH. Keren, haru saya bacanya, sampai terbayang wajah aa kalo sedang berbicara, nadanya, senyumnya, pandangan yg teduh dari aa. Semoga aa selalu sehat terus, kiyai kami..
Post a Comment