11:00 PM -
Bincang-bincang,Salman Media
No comments
Menangis, Tanda Cinta Kepada Allah
sumber gambar: dostnet.biz |
Kata “cinta”, tentunya bukan suatu yang asing lagi
bagi kita. Satu kata ini akan menimbulkan begitu banyak interpretasi bagi
setiap orang yang mendengarnya. Umumnya, ia menjadi simbol pengungkapan rasa
kasih sayang yang sangat pada seseorang ataupun sesuatu. Bermacam-macam emosi
akan bercampur dalam jiwa seseorang ketika ia merasakan apa yang dinamakan
“cinta” tersebut. Apakah ia nanti akan sering senyum-senyum sendiri ketika memikirkan
yang dicintainya, atau malah menangis tersedu-sedu ketika merindukannya.
Dalam cinta manusia kepada Allah, konsep ini lebih
mengarah kepada cinta yang dihiasi tangisan. Seseorang yang cinta kepada Allah,
apabila telah keasyikan berkomunikasi dengan-Nya terkadang dihadapkan dalam
berbagai kondisi, seperti: harap, takut, sedih, tangis, bahagia, gemetar,
tenang, berdebar dan lain sebagainya. Mari kita perhatikan pelajaran dari
kehidupan para sahabat dahulu.
Dari Abi Hurairah r.a., dia berkata: “Ketika turun ayat afamin hadzal hadiisi, wa tadhhakuuna wa laa tabkuuna, wa natum
saamiduuna, menangislah para sahabat (ahli shuffah) hingga mengalirlah air
mata mereka membasahi pipi, dan ketika Rasulullah mendengar tangisan mereka,
beliau pun menangis bersama mereka, maka kami pun menangis karena (terdorong
oleh) tangisannya. Beliau bersabda: tidak akan masuk neraka orang yang menangis
karena takut kepada Allah dan tidak akan masuk surga orang yang terus-menerus
berbuat dosa. Sekiranya kamu tidak berdosa pasti Allah akan mendatangkan
orang-orang yang berdosa kemudian Dia mengampuni mereka”. (H.R. Al-Baihaqi)
Ayat yang berbunyi afamin hadzal hadiisi, wa
tadhhakuuna wa laa tabkuuna, wa natum saamiduuna ini adalah Surat
An-Najm ayat 59 – 61 yang artinya “Maka
apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan
tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)?”.
“Para sahabat ketika mendengar ayat ini dibacakan
mereka sangat sensitif sekali, mereka merasa bahwa merekalah yang dimaksud oleh
ayat ini. Merekalah yang ditegur dengan teguran yang sangat keras ini,
merekalah yang dipandang sebagai yang keras kepala, sombong dan melecehkan
ayat,” ungkap K.H. Saiful Islam Mubarak.
Pimpinan Podok Pesantren MAQDIS Bandung ini
melanjutkan, para sahabat merasa terkena musibah besar yang tiada taranya. Maka
saat itu mereka semua menangis karena merasa takut tidak mendapat ampunan
hingga jauh dari Allah dan akan terlepaslah nikmatnya cinta yang terus mereka
perjuangkan untuk meraihnya.
Pada kalimat “Tidak
akan masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah” mengandung
arti bahwa menangis karena takut kepada Allah adalah jalan menuju selamat dari
ancaman api neraka. “Tanpa menangis karena takut oleh Allah, ancaman api neraka
tidak dapat dihindarkan. Dan bila tidak masuk neraka akan masuk surga,”
paparnya.
Selanjutnya, kalimat “Dan tidak akan masuk surga orang yang terus-menerus berbuat dosa
(maksiat)” mengungkapkan bahwa orang yang tidak menangis karena takut
kepada-Nya, adalah orang yang terus berbuat maksiat. Dia tidak menangisi dosa,
padahal tak ada seorang pun yang bersih dari dosa. “Hanya saja ada yang
membiarkan dosanya terus bertambah dan ada pula yang berusaha mencucinya dengan
air mata, yaitu dengan tobat menangisi dosa. Kendati masa berikutnya tidak
dijamin akan terus bersih dari dosa,” jelas lelaki lulusan Universitas Al-Azhar
Kairo Mesir tahun 1987 ini.
Orang yang merasa dirinya suci dari kesalahan
merupakan suatu dosa karena tidak menyadari akan kelemahan sendiri. Rasul
menegaskan, kalau tidak ada seorang pun yang suci dari dosa, apa yang
membuatnya tidak menangis di hadapan Allah? Sekiranya bersih dari dosa berarti
orang itu tidak layak berada di dunia, seharusnya ia segera kembali ke hadirat
Allah.
Surat An-Najm yang disebutkan dalam hadis di atas
juga mengungkapkan bahwa orang yang tidak mau menangis dengan ayat Allah adalah
orang yang lalai. “Orang yang tidak diragukan kecintaannya kepada Allah
senantiasa mudah meneteskan air mata ketika mendengar Allah berfirman. Terutama
bila ayat yang dibacanya adalah yang berhubungan dengan teguran,” ujar Saiful.
*Tulisan ini
bersumber dari buku Cinta, Menggapai Hakikat Mahabatullah karya K.H. Dr. Saiful
Islam Mubarak, Lc., M.Ag. dengan beberapa penyuntingan seperlunya oleh penulis.
Pernah dipublikasikan di salmanitb.com pada bulan Juni 2013
0 comments:
Post a Comment