1:17 AM -
Kisah Penggugah Jiwa
No comments


Sekolah Peradaban
“Bagaimana kalau kita membuat Sekolah
Peradaban?”
Perkataan
dari sahabatku Rafi masih terngiang di pikiranku selama seminggu ini. Idenya
tentang membuat Sekolah Peradaban bersama untuk para anak jalanan sangat bagus.
Malah sangat bagus! Namun, bagaimana cara mewujudkannya? Bukannya tidak mudah
untuk masuk ke dalam dunia mereka, apalagi membuat sekolah? Belum lagi status
kami ini yang masih mahasiswa.
“Tenang
saja, kawan. Mudah, kok, untuk
bergaul dengan mereka.”
Rafi
memang tidak pernah berpikir panjang. Dia bilang itu mudah, namun pada
kenyataannya? Aku sudah mencoba untuk bergaul dengan anak-anak jalanan yang kutemui
ketika naik angkot, tapi kenapa pembicaraanku tidak pernah nyambung dengan mereka. Pasti selalu berujung dengan tangan mereka
yang menadah ke atas meminta uang.
“Ah…, itu hanya karena kamu masih kurang
belajar saja, Siti.”
Kurang
belajar apalagi coba! Aku mahasiswa tingkat tiga jurusan Psikologi Pendidikan
dan Bimbingan. Ilmu tentang kejiwaan manusia sudah sebagian aku pelajari dan ketahui.
Kayaknya ada yang salah dengan para anak jalanan itu, Rafi!
“Tidak
ada yang salah pada mereka. Kamu tu
yang belum mengenal mereka.”
Pernyataannya
yang terakhir itu tampaknya benar. Ya, aku memang baru mengetahui mereka dari
luarnya saja. Hanya praduga pikiranku saja yang kupakai. Bergaul secara intens
belum aku lakukan. Pantas saja belum begitu nyambung
dengan mereka.
Kelihatannya
Rafi harus mengajarkanku langsung tentang bagaimana caranya menaklukkan mereka.
Apakah yang selama ini dikatakannya benar atau hanya omdo alias omong doang. Ini juga demi Sekolah Peradaban
yang kami usung bersama.
***
Sekolah
peradaban, sebuah konsepan tempat belajar sebagai wadah anak-anak, khususnya
anak jalanan dan anak kurang mampu untuk berkumpul dan berkarya. Selain belajar
tentang ilmu praktis, mereka juga akan belajar ilmu agama yang menjadi usungan
utamanya. Kami, Perkumpulan Mahasiswa Muslim Penggerak Peradaban (PM2P2),
sengaja membuat wadah ini sebagai pembuktian pergerakkan kami, yaitu menggerakkan
peradaban mulai dari hal yang kecil.
Ya,
sebenarnya aku lebih suka kalau hal kecilnya dimulai dari diri sendiri dulu.
Namun, Rafi, ketua umum kami orangnya sangat semangat dan selalu punya ide-ide
unik tentang pergerakkan yang kami akan lakukan. Dia selalu mengatakan, dengan
kita berusaha mengubah suatu peradaban yang bukan hanya dari diri kita sendiri,
otomatis selama kita ada niat memperbaiki diri, pergerakan diri kita pasti akan
menjadi lebih baik juga.
Salah
satu idenya, yang menurutku paling heboh selama ini, adalah mengenai Sekolah
Peradaban. Dia sampai rela merogoh koceknya
untuk menyewa rumah yang akan dipakai untuk itu. Tentunya dibantu dengan dana
anggota PM2P2 juga, hanya saja, Rafi yang paling banyak menghabiskan uangnya,
bahkan tabungannya.
Rumah
tersebut berhasil kami dapati dengan harga sewa yang lumayan miring. Saat ini
rumah tersebut memang belum ada anak-anak jalan yang ikut dalam Sekolah
Peradaban. Belum adanya instruksi dari Rafi untuk mencari anak-anak jalanan
yang menjadi sasarannya adalah salah satu sebabnya. Maklum, dari 10 orang
pengurus PM2P2, ternyata sama sepertiku. Kemampuan mereka untuk membujuk
anak-anak jalanan hampir sama. Jadi masih butuh bimbingan Rafi sebagai pengusul
utamanya. Nah, sekarang ini kami dipimpin
Rafi bergerak bersama untuk melakukan pendekatan kepada anak-anak jalanan.
Lucu
juga melihat aku dan teman-temanku yang di kampus mendapat gelar para ikhwan dan akhwat ini mencoba bergaul dengan anak-anak jalanan. Pakaiannya
kami untuk yang lelaki pakai baju koko dan peci, sedangkan perempuannya pakai
baju gamis dengan jilbab yang rata-rata menutupi sampai di bawah dada, tampak
kontras dengan style anak-anak
jalanan tersebut. Begitu pun aku, aku malah memakai jilbab yang menutupi sampai
batas pinggangku.
Anak-anak
jalanan yang kami dekati banyak merasa heran dan memandang aneh apa yang kami
lakukan. Bagaimana tidak? Ini ada pengajian apa? Kita diserang oleh monster berjilbab dan monster berjanggut! Kurang lebih seperti itu
pemikiranku menduga pandangan mereka terhadap kami. Hampir semua teman-temanku
yang mencoba bergaul berakhir dengan kaburnya anak-anak jalanan tersebut dari
mereka. Hey, para monster berjilbab dan
berjanggut, masa pada tidak bisa menaklukkan mereka, sih? Bisikku dalam hati sembari tersenyum.
Tapi
Rafi beda, monster berjanggut itu
tampaknya berhasil merebut hati banyak anak-anak jalanan. Kesupelan dan selera
humornya, serta ilmu sosialnya yang dia punyai sangat bagus. Anak-anak itu
senang sekali dengan Rafi yang bisa nyambung
dengan mereka. Mungkin ini yang Rafi katakan ‘mengenal mereka’ kemarin.
Aku
harus belajar banyak darinya.
***
Alhamdulillah, di hari ketiga semenjak
kami mulai turun mencari anak-anak jalanan, anak-anak yang mengikuti Sekolah
Peradaban sudah mencapai 30 orang. Di Sekolah Peradaban ini mereka kami ajarkan
tentang banyak hal. Dari belajar membaca untuk yang belum bisa membaca, sampai
membuat kreasi dari barang-barang bekas kami ajarkan. Tak lupa pula ilmu agama,
mulai dari tata cara solat dan sebagainya. Mereka semua antusias. Setidaknya
itu sebelum hari ini, hari keempat.
Hari
keempat ini kami memang sengaja berhenti sementara untuk mencari anak-anak
terlantar karena ingin memfokuskan diri mengajari mereka yang sudah ada. Namun,
anehnya hari ini malah tidak ada satu anak pun yang datang. Ada apa ini?
“Pada
ke mana, ya, anak-anak?”
Aku
bertanya kepada Rafi yang juga bingung dengan keadaan ini.
“Mungkin
mereka harus kejar setoran, Ti.”
Rafi
tersenyum padaku. Namun, aku merasa ekspresinya hari ini tidak seperti
biasanya. Seperti ada yang disembunyikan olehnya.
“Rafi,
ada sesuatu yang kamu sembunyikan ya?”
“Nggak ada, kok.”
“Jangan
bohong, deh. Kamu yang biasanya ceria
tidak mungkin diam seperti ini.”
“Em…,
be….”
“Kak
Rafi…, tolongin Icha!”
Perkataan
Rafi terhenti ketika mendengar suara Icha, salah satu anak jalanan usia sepuluh
tahun yang mengikuti sekolah peradaban, berteriak memanggilnya. Suaranya
seperti sedang ketakutan.
“Ada
apa, Icha?”
“Itu,
Kak…, teman-teman Icha yang mau ke sekolah kakak dilarang sama Bang Junet.
Sekarang mereka akan dihukum sama Bang Junet. Tolongin mereka, Kak.”
“Bang
Junet itu…, ternyata benar dugaanku.”
“Siapa
Bang Junet, Fi?”
“Pimpinan
anak-anak jalanan di daerah ini. Aku mau menemui dia sekarang, kamu dan yang
lain di sini saja ya, Siti.”
“Eh…, enak saja! Ini, kan, pekerjaan kita bersama. Kami siap
untuk membantumu, kok.”
“Tapi,
kan….”
“Ga da tapi-tapian! Betul, kan, teman-teman?”
“BETUL.
Allahu akbar!”
Kami
semua bertakbir menyetujui tindakan kami utuk membantu Rafi.
“Ya
udah kalo begitu. Terima kasih saudara-saudara seimanku.”
Tampak
mata Rafi berair. Air itu perlahan mengalir ke pipinya. Ukhuwah antara kami membuatnya yang biasanya tegar dan terkadang
individual itu takluk.
***
Kini
kami sampai di markas Bang Junet, tepat di bawah kolong jalan layang yang tak
berada jauh dari Sekolah Peradaban. Tempatnya berada dilingkungan yang kumuh
dan banyak sampah. Bahkan pencerminannya terlihat dari markas Bang Junet yang
terbuat dari kumpulan kardus yang tampaknya sudah lama tidak diganti.
Rafi
memimpin persiapan kami untuk masuk ke dalam markas tersebut. Ditarik nafasnya
perlahan untuk menguatkan dirinya. Kami pun sama, kurasakan degupan jantung
kami berpadu satu.
“Rasanya tempat ini terlalu kecil apabila kita
semua masuk. Tampaknya cukup aku dan Siti saja yang masuk.”
Hah?
Aku? Apa Rafi serius? Aku, kan, perempuan.
“Kamu,
kan, waktu SMA katanya pernah juara
nasional karate, bukan?”
Eh…, aku tidak pernah cerita padanya.
Dari mana dia tahu? Memang, sih,
mungkin sudah menjadi rahasia umum. Hanya aku satu-satunya akhwat yang paling berani dan terkadang nekat untuk menentang
sesuatu. Kurang lebih ini karena efek kemampuanku tersebut. Wajar kalau Rafi
sebagai pimpinan PM2P2 tahu mengenai sejarah aku yang kasar ini. Haha.
“Yang
lain tunggu di luar saja. Kalian harus siap-siap kalau terjadi apa-apa dengan
kami di dalam.”
Aku
dan Rafi pun masuk ke dalam markas. Ternyata di dalamnya sudah menunggu seorang
laki-laki dengan tubuh kekar dan berwajah sangar. Di belakangnya tampak
anak-anak jalanan Sekolah Peradaban kami. Mereka tampak ketakutan.
“Kau
yang namanya Rafi itu, hah!?”
“Iya,
benar. Dan anda yang namanya Bang Junet, bukan?”
Tegang.
Aku merasa adegan seperti ini sering aku temui di film-film jepang yang sering
kutonton, yaitu awal perkelahian antara sang pahlawan dengan para yakuza.
“Berani-beraninya
kau mengambil anak-anak jalananku sehingga mereka malas cari setoran, ya!”
Waduh,
kayaknya ini bakal jadi persoalan yang gawat, pikirku. Aku segera mempersiapkan
posisi kuda-kudaku dan fokus menatap Bang Junet. Untung hari ini aku memakai
pakaian muslim dengan rok terpisah, bukan gamis seperti biasanya, sehingga
gerakanku bisa lumayan lebih leluasa. Kulihat Bang Junet kini mengambil sesuatu
dari kantong celananya. Dia bersiap melempar benda itu kepada Rafi.
“Nih, makan loe!”
Benda
yang dilempar Bang Junet tersebut melayang dan sebentar lagi tepat mengenai
kepala Rafi. Aku telat mengambil tindakan.
“CEPLOK!”
Hah? Bunyinya, kok, gitu? Sebelum aku
sempat menoleh ke arah Rafi. Bang Junet tiba-tiba berteriak.
“Anak-anak
SERANG!!”
Apalagi
ini? Anak-anak jalanan di belakang Bang Junet berlari ke arah Rafi dengan
membawa ember di tangan mereka. Aku harus bagaimana, nih? Tidak mungkin aku menghajar anak-anak yang selama ini aku
ajari. Tapi ini adalah hal yang tidak bisa dibiarkan. Aku harus beraksi!
Tiba-tiba
sepasang tangan mendekapku dari belakang. Ah,
tidak! Rafi takkan selamat kalau begini. Aku sekarang menoleh ke arah Rafi, dia
tampak tidak bergeming dari posisinya. Anehnya lagi, bekas lemparan Bang Junet
tadi, kok…, ternyata itu sebuah
telur…!?
“SELAMAT MILAD KAK RAFI!”
Anak-anak
jalanan itu serempak menyirami Rafi dengan air hingga membasahi rumah kardus
markas Bang Junet. Ternyata semua ini hanya drama! Drama untuk ulang tahunnya
Rafi!
“Hey…hey…
kenapa aku tidak diberitahukan sebelumnya!?” aku bertanya kepada orang yang
mendekapku dari belakang, yang kini aku tahu mereka adalah salah satu temanku
yang menunggu di luar tadi..
“Kamu
pulang duluan, sih, kemarin.”
“Paling
tidak sms saja, apa susahnya? Aku sudah siap untuk berkelahi, nih.”
“Maaf,
kami lupa. Hehe.”
“Dasar!”
Tapi
tak apa-apa. Kejadian ini membuatku tak bisa marah kepada mereka begitu melihat
Rafi yang menangis haru karena kejadian ini. Mungkin dia yang lebih pantas marah,
ya?
“Terima
kasih semuanya. Tak kusangka akhirnya malah seperti ini. Aku kira ini semua
serius.”
Rafi
berkata sambil menghapus air matanya. Kerjaan teman-temanku yang bekerjasama
dengan anak-anak jalanan Sekolah Peradaban kami ini patut kuacungi jempol. Aku
jadi teringat jadwal pelajaran yang akan kami ajari hari ini di Sekolah
Peradaban adalah pelajaran drama. Tak disangka teman-temanku malah
menjadikannya praktik langsung, bahkan melibatkan Bang Junet pimpinan anak-anak
jalanan yang di luar dugaan sangat mengapresiasi kegiatan kami selama tidak
mengganggu jadwal kejar setoran mereka.
Ternyata
Sekolah Peradaban, karya rintisan kami ini, telah berhasil masuk ke dunia
anak-anak jalanan. Ide Rafi sukses dan sekarang membuatnya benar-benar bahagia.
Selamat ya, Rafi. Selamat juga untuk
Sekolah Peradaban yang kita rintis bersama ini.
------------------------------------
cerpen yang gagal lolos lomba... posting saja... hehehe
0 comments:
Post a Comment